Sebelum kedatangan bangsa belanda, di pulau jawa belum ada jalan yang menghubungkan antar wilayah . Perjalanan dari jakarta sampai surabaya ditempuh selama 14 hari. bila musim hujan medan perjalanan lebih berat lagi, jalan setapak yang melewati kawasan perbukitan dan pegunungan memaksa para pejalan melewati berminggu-minggu untuk menempuh jalan dari jakarta sampai surabaya. perjalanan dengan menggunakan kapal lebih banyak dilakukan, ketimbang melewati jalan setapak lewat perbukitan.
Maka Gubernur Jenderal herman willem daendles (1808-1811) membuat proyek pembangunan jalan sepanjang pulau Jawa. proyek tersebut dimulai ketika pada mei 1808, Jenderal guntur tersebut memerintahkan para bupati agar membangun jalan di sepanjang Pulau jawa. Pada bulan juli 1808 Daendles juga bertemu dengan para bupati di semarang untuk proyek jalan tersebut.
Jalan raya anyer panarukan yang terbentang di sepanjang pulau jawa, pembangunan jalan sepanjang 1000 km itu ternyata merebut nyawa bagi orang-orang pribumi di jawa.
Timbul korban jiwa yang sangat banyak, seperti di daerah megamendung, wabah penyakit, medan pembangunan jalan yang berat melewati hutan dan perbukitan menewaskan beratus-ratus orang dari pekerja rodi.
Di Sumedang, Pembangunan jalan lebih sukar dikarenakan batuan cadas yang ada di kawasan tersebut memaksa ribuan pekerja tewas selama pembangunan proyek jalan . Hal itulah yang membuat marah pangeran kornel, bupati sumedang.
Maka ketika bertemu atasannya, Gubernur jenderal Herman willem daendles sang jenderal guntur, bupati sumedang menyalami daendles dengan tangan kirinya dan tangan kanannya memegang keris.
Daendles merasa tertantang oleh bawahannya, ia sangat marah. Sang Gubernur jenderal merasa ditantang oleh bawahannya sendiri. Ia tidak bisa menerima perlakuan sang bupati yang merupakan bawahannya.
Tetapi setelah mendengar penjelasan bahwa telah banyak rakyat sumedang yang menjadi korban proyek jalan Anyer panarukan itu, Daendles memakluminya dan amarahnya pun reda.
Sampai sekarang kisah sang bupati yang menentang Jenderal Guntur masih tertera dalam berbagai literatur. Di buku-buku berbahasa indonesia dan cerita rakyat secara turun-temurun.
Meskipun sejarahwan Universitas Indonesia, Djoko Marihandono mengatakan peristiwa itu tidak ada dalam arsip-arsip yang tersimpan di negeri belanda atau hanya semacam "cerita Rakyat" yang beredar secara turun temurun di kalangan kaum pribumi.